Tuesday, August 16, 2011

Setelah itu, sudah


Aku  sedang berlayar sendiri, mencoba memutar arah untuk kembali menggali sesuatu yang telah lama ke pendam.
Dia menghubungiku, memberitahukan bahwa dia sudah kembali setelah memilih untuk meninggalkanku dan mewujudkan mimpinya di kota penuh cinta, Paris. Kami pernah saling berbagi nafas bersama selama kurang lebih lima tahun. Ia sempat menjadi satu-satunya tempat yang kuyakini tepat untuk menyimpan hati liarku. Kami hidup normal, bahkan hampir satu langkah ke depan untuk mewujudkan mimpi remaja sebelum akhirnya dia memutuskan pergi.

“baju-bajumu sudah siap ? jangan lupa memberikan ini pada ibu dan sampaikan salamku”
“iya” jawabku sambil meraih bingkisan di tanganmu dan mengecup keningmu. Hari ini aku akan berkunjung ke tempat ibu. Sudah lama tidak kesana. Pertemuanku dengannya dan beberapa kejadian setelah itu memang sedikit meresahkan dan melelahkan. 

Waktu itu kopi kami tertukar saat kami hendak mengambil gelas kopi yang sama di sebuah coffee shop di jalan Thamrin, setelah aku berusaha sekuat tenaga untuk mengabaikan ajakannya. Kami akhirnya memilih untuk duduk di meja yang sama dan memulai cerita. Semua memang serba kebetulan. Dia yang kembali karena ayahnya yang sakit dan akhirnya harus memilih untuk melepaskan mimpi dan melanjutkan perusahaan keluarga. Yaa, mimpi yang telah mengambilnya dariku beberapa tahun yang lalu. Kemudian pembicaraan kami berlanjut menjadi semakin sensitif. Kami mulai mengetuk hati masing-masing. Mencari puing-puing yang tersisa dan mencoba menyusunnya kembali. Lima tahun memang waktu yang lebih dari cukup untuk saling mengenal bahkan akhirnya lulus memahami masing-masing. Pertemuan kami tidak berhenti sampai situ. Kami kembali menyambungkan tali yang sempat ia putuskan dengan sepihak dulu. Setiap hari aku selalu menyempatkan diri untuk bertemu dengannya.

Sore itu aku memilih pulang padamu. Setelah beberapa hari bersemedi di apartement. Seperti biasa kamu menyuguhi ku segelas air putih. Hidup sehat, katamu. Paru-paruku harus dibersihkan setelah kuisi asap setiap hari. Aku lebih banyak diam, sedangkan kamu bercerita banyak. Ternyata seminggu hidup dalam pengabaian membuatmu menampung segudang cerita yang siap kamu muntahkan. Aku tau kamu merasakan sesuatu, perubahan kecil yang terjadi setelah hampir dua tahun sosokmu tidak pernah lepas dari pengawasanku. Tapi beginilah kamu, tidak pernah menaruh curiga sedikitpun apalagi ingin mencari tau apa yang terjadi. Bagimu, yang terpenting adalah menjalankan bagianmu tanpa perlu menengok ke luar jendela. Banyak yang jahat, katamu. Hidup memang telah menawarkan banyak pilihan tapi kebanyakan dari kita memilih sakit untuk benar-benar menjadi besar. Kamu adalah sebenar-benarnya keyakinan. Layaknya darah yang di donorkan, kamu mampu memberikan hidup walau hanya dengan satu kantong. 

“kamu mau menginap ?” tanyamu setelah menemukan isyarat di wajahku
“tidak untuk hari ini. Banyak kerjaan yang harus diselesaikan. Mungkin akhir pekan” jawabku sambil mengambil beberapa kertas dari atas meja kerjamu. Ada raut kekecewaan di wajahmu, tapi selalu tersamarkan oleh sebuah senyuman.
“okay. Take your time. Hati-hati di jalan”
“iyaa” aku mengecup keningmu, menunggu complaint kecil yang biasanya selalu ada sebelum aku pulang . satu, dua…
“kamu merapikan rambutmu. Aku seperti melihatmu dua tahun yang lalu” YES, here they are. Complaint tersirat yang tak perlu ku jawab. Karena senyum kecil dariku sudah cukup menjawab semuanya.

***
Minggu demi minggu berlalu. Aku mulai mengalami hidup normal dengannya di  sisi gelap. Hatiku kembali. Aku mendapatkan apa yang selama ini hanya ada dalam ingin.
Ia mengirimkan pesan singkat padaku
“I’ll go tomorrow night. There’s something I wanna do in Paris and will be back soon. Ketemu di apartement yaa”
Ia harus membereskan beberapa hal sebelum akhirnya menetap di Jakarta. dan setelah kembali, ia akan datang padaku menagih janji yang sempat kuucapkan beberapa minggu yang lalu.

Hari ini kamu datang padaku. Mengeluhkan beberapa pekerjaan yang baiknya bisa sedikit menyita waktumu, menurutku. Obrolan kita cukup panjang sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk melakukan pengakuan “sekarang atau tidak sama sekali” batinku
Lagi-lagi kamu melemparkan sebuah senyuman sebelum memulai bicara. Mungkin ini adalah salah satu proses penenangan diri paling ampuh yang pernah ku lihat.
“dia datang kapan ?” kamu mulai berbicara
“sebulan yang lalu. Aku…”
“sudah. Aku tau kamu tidak akan menolak dan aku juga tidak perlu bertanya kenapa kamu baru cerita sekarang”
“aku belum melakukan apa-apa. Belum juga memutuskan apa-apa. Aku milikmu”
“kamu perlu bertannya lagi pada hatimu dan make sure kepada siapa dia ingin menetap. Aku tidak mau menunggu sampai kamu memutuskan. Dengan berani berbicara padaku, berarti memang ada sesuatu yang akan kamu lakukan”
“kamu mau pergi ? mau meninggalkanku ? aku hanya ingin jujur. Tidak lebih”
“possible. Ketika kamu tidak kunjung selesai. Ingat ini, selesaikan dengannya atau dengan kata lain kita yang selesai. Terima kasih mau jujur”
“kamu hidup aku sekarang, dia hanya masa lalu yang akan pergi”
“atau malah kembali dan menetap. Sudahlah, aku sudah tertidur pulas di hatimu. Jadi, tolong jangan membangunkanku dengan gangguan kecil bernama dia”
Kamupun meraih tasmu kemudian berlari dengan cepat tanpa mampu ku cegah. Malam itu aku mengutuk diriku atas api yang ku bakar dan tidak mampu ku padamkan. Sejujurnya, aku juga menjanjikan hal yang sama dengannya. Sesuatu yang berhubungan dengan masa depan dan hatiku juga ada padanya. Aku berpikir keras malam itu. Harus ada satu lampu yang aku padamkan cepat atau lambat.

Aku datang padanya beberapa jam sebelum ia harus ke bandara. Aku memandanginya, dia adalah salah satu mahakarya terbaik yang Tuhan ciptakan dan bagaimana bisa ku menolak.
Ia mengalungkan tangannya di leherku, melumat lembut bibirku kemudian berkata
“Cuma seminggu. Setelah itu kita akan bersama selamanya”
Aku melihat sekitar. Dia masih sempurna. Tidak ada cacat sedikitpun dari hidupnya. Dia adalah sesuatu yang akan selalu dicari siapapun dan Demi Tuhan aku pernah mencintainya lebih dari nyawaku sendiri.
“hey, are you okay ? aku bakalan balik sayang. Aku ga pergi lama lagi”
Aku melepaskan pelukannya. Setelah ini hidupku akan berubah drastis, itu yang aku tau. Aku mengecup keningnya, membelai lembut pipinya dan akhirnya menemukan kebingungan di wajahnya.
“kapalku kembali, kembali pada hatimu. Bukan untuk mengambilnya lagi, tapi hanya untuk memastikan ia baik-baik saja tanpaku setelah itu, sudah. Kamu hati-hati”

Setelah malam itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Terakhir yang aku dengar, ia tetap menjalankan perusahaan keluarganya tapi juga membuka sebuah galeri seperti mimpinya.
Dan hari ini aku datang pada ibu untuk meminta satu permohonan terakhir. Permohonan yang akan melengkapi tugasnya sebagai ibu, yaitu melamarmu. Tunggu aku sayang. Seperti kataku, aku mati padamu.

Wednesday, August 10, 2011

Untukmu dan Pertarungan dengan diri sendiri


Ini semua hanya tentangmu, tentangku. ohh, bukan. ini tentang kita. tentang kita yang tidak berhenti mengunyah walau sudah kenyang.

Berbeda denganmu yang tidak pernah menolak rejeki yang datang, dalam beberapa hari, minggu, bulan, bahkan tahun belakangan ini, banyak yang silih berganti datang dengan memberikan penawaran padaku, menawarkan diri lebih tepatnya. terlintas untuk tidak menolak, tapi sekali lagi tidak kulakukan atas alasan hidup normal. sesungguhnya kita sudah jauh berjalan dan menggores banyak hal di kertas masing-masing.

aku ingin hidup sederhana denganmu, sesederhana pelukmu yang akan selalu bisa menenangkanku disaat guntur menggelegar. sederhana tapi bahagia.

aku lelah hidup sebagai pengintai yang setiap harinya menambah daftar panjang nama-nama sampah yang harus di garis merah,  bahkan tidak sedikit yang sudah di blacklist. yaa, mereka sampah. seperti katamu ketika memohon ampunan waktu itu. sampah yang akan membuang dirinya padamu, kemudian akan diambil lagi karena sesungguhnya kamu bukanlah pembuangan terakhir.

cukup mengumbar kemanisan, sayang. kita hanya akan terkena sakit gigi dan yang paling buruk adalah diabetes karena mengkonsumsi manis yang berlebih. hidup kita terlampau indah, kamu harus tau itu. aku sudah menggelar sajadahku dan sajadahmu, kemudian kita bersujud dalam sepenggal waktu yang sama dan doamu ku Amini. Suatu hari nanti kamu akan mengumandangkan adzan di telinga bayi mungil kita yang mewarisi separuh parasku dan separuh tingkahmu. aku ingin hidup denganmu. itu yang aku tau. menghabiskan lebih kurang 40 - 50 tahun bersama di sebuah rumah kecil dengan halaman luas dan tanpa sampah pastinya. semua harus indah, semua harus manis dan hidup pastinya lebih baik.

Untukmu, yang tidak pernah lelah bertarung melawan diri sendiri. kuatkan kaki, kuatkan hati. kamu pemenang !